. Pertama, ditinjau dari
segi harga, angklung terbilang lebih “murah”
sehingga tidak akan terlalu menjadi beban, bila sekolah berminat memilikinya.
Lain halnya dengan alat musik diatonis lain seperti gitar, biola apalagi piano
yang pada waktu itu (tahun 30-an) merupakan produk impian yang sudah pasti
harganya pun diatas harga alat angklung.
Kedua,
alat angklung dapat dimainkan dengan “mudah”
oleh setiap anak/pemain, dalam artian tidak memerlukan manipulasi tangan dan
jari yang sulit (fingering), berbeda dengan alat musik lainnya, cukup dengan
memegang dan menggoyangkannya maka angklung akan berbunyi. Dengan demikian
angkung dapat dimainkan oleh anak mulai dari usia 5 tahun dan orang yang
usianya 80 tahun.
Ketiga,
musik ini dapat dimainkan secara “masal”
sehingga anak-anak di dalam kelas dapat ikut berperan serta, tidak ada
pembatasan jumlah pemain sepanjang alatnya tersedia yang penting aladah
pengaturan dan pengorganisasiannya.
Keempat,
didalam bermain musik angklung inipun terkandung unsur “mendidik” anatara lain : disiplin, tanggung jwab, kerjasama /
gotong royong, tahu tugas dan kewajiban, solidaritas, demokrasi, kosentrasi,
dan etos kerja. Disini terlihat adanya saling ketergantungan antara nada yang
satu dengan nada yang lain untuk memainkan sebuah lagu yang ingin dimainkan.
Kelima,
adalah “menarik” karena ternyata
musik angklung ini telah berhasil menarik minat dari alat musik yang sederhana
dapat memainkan lagu-lagu.
Dari keterangan diatas
oleh Pak Daeng ke “5 (lima) M” tersebut dijadikan moto angklung Pak Daeng,
yaitu : Mudah, Murah, Massal, Mendidik,
dan Menarik.
Menjelang akhir hayatnya, cita-citanya tidak lagi terbatas pada
“memasyarakatkan angklung”, tetapi juga “menduniakan angklung” , karena ia
melihat bahwa angklung sekarang telah menyebar keseluruh dunia. Bagi umum,
angklung Daeng Sutigna disebut “Angklung Modern”, tetapi juga sejumlah
murid-murid yang meneruskan cita-cita dan yang telah mengikuti perjuangan Daeng
Sutigna dalam memberikan tempat yang terhormat bagi angklung, menyebutnya
“Angklung Pak Daeng”, suatu nama untuk mengabadikan kepeloporannya itu.
Nilai-nilai Positif
yang Terkandung
Kemampuan
generasi muda dalam memilih, memilah dan menyerap berbagai pengaruh untuk mampu
digunakan sebagai kekuatan bangsa dalam menghadapi ancaman, tantangan, hambatan
dan gangguan di tingkat lokal, nasional, dan global yang dapat mengganggu
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu apabila kemampuan generasi
mudah diarahkan ke jalan yang positif bukan tidak mungkin peningkatan sumber
daya manusia akan meningkat menjadi lebih baik.
Pendidikan musik
meupakan salah satu aspek dari pendidikan kesenian yang merupakan sarana untuk
membantu anak didik membentuk pribadinya melalui penanaman dan perasapan rasa
indah/peka dalam usaha membentuk atau menemukan diri pribadinya sehingga
menjadi manusia berbudi pekerti yang luhur yang kreatif / estesis atau sebagai
salah satu aspek penting dalam totalitas pembinaan anak didik. Musik adalah
salah satu sarana yang tepat bagi kesejahteraan lahir maupun bathin yang sangat
diperlukan setiap keluarga.
Pembelajaran musik
angklung yang dilaksanakan melalui proses pedagogis dapat turut serta
mempersiapkan peserta didik memiliki kemampuan “intelektual” (IQ), kemampuan
emosional (EQ), kemampuan sprituial
(SQ) dan kemampuan sosial dalam
mengembangkan keterampilan hidup (life skill) yang bermutu. Untuk memainkan
angklung tidak dibatasi berdasarkan usia maupun derajat seseorang, karena dalam
bermain angklung tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Semua
orang yang ikut berpartisipasi menjaga, melestarikan, dan mengembangkan
angklung adalah keluarga meskipun dalam kenyataannya berbeda ras ataupun suku
bangsa, dalam kata lain angklung dapat menyatukan semua orang tanpa memandang
perbedaan. Seperti yang di ungkapkan oleh para sesepuh angklung bahwa “perbedaan bukan untuk dipertandingkan, namun
untuk dipersandingkan”.
Secara khusus
kompetensi peserta didik musik angklung memiliki kemapuan apresiasi,
kreatifitas, dan kemampuan berekpresi sehingga mereka mempunyai nilai dasar
humaniora untuk menerapkan kebersamaan, tenggang rasa, disiplin dan tanggung
jawab dalam kehidupan. Dengan demikian pembelajaran musik angklung akan
berorientasi pada pendekatan pada prinsip-prinsip keseimbangan etika, logika,
estetika dan kinestika. Untuk memperkuat identitas diri, tidak hanya
berorientasi pada hasil atau produk, asal mahir bermain angklung semata. Maka
dengan demikian pembelajaran seperti diatas diharapkan dapat meningkatkan
potensi intelektual, emosional, spiritual dan sosial serta keterampilan hidup
yang mantap.
Kearifan Lokal yang
Terkandung
Untuk memainkan suatu
komposisi lagu setiap pemain harus harus berpegang teguh pada motto 5M angklung
terutama motto yang ke-4 yaitu “Mendidik”.
Maksudnya setiap pemain angklung harus punya rasa kerjasama yang baik, tanggung
jawab, disiplin, demokrasi, solidaritas, estetika, dan toleransi. Oleh karena itu dalam kehidupan
sehari-haripun kita harus bisa menerapkan filosofi-filosofi yang terkandung didalam
budaya angklung dan budaya yang lainnya. Dapat kita lihat disini ada kandungan
kearifan berupa kandungan pendidikan, antara lain:
1. Memegang
teguh kebenaran, maksudnya seorang pemain angklung harus benar-benar
bertanggung jawab terhadap nada atau angklung yang dia pegang, misalnya pada
saat bermain suatu lagu dia harus hapal betul tugas dia saat membunyikan nada
atau angklung yang dipegangnya.
2. Disiplin,
makasudnya setiap pemain angklung dilatih untuk memiliki sifat disiplin,
misalnya setiap pemain harus disiplin saat membunyikan nada atau angklung
seseuai dengan arahan pemimpin atau orang yang melatih, dimana nada kapan nada
tersebut harus dibunyikan dan tidak disembarang tempat (ketukan).
3. Kerja
sama, maksudnya setiap pemain angklung harus bisa kerjasama dengan baik guna
untuk keharmonisan dan keindahan sebuah lagu. Karena apabila satu nada saja
terlewat atau kelebihan bunyi maka keindahan lagu tersebut akan hilang.
4. Demokrasi,
maksudnya dalam bermain angklung pasti ada satu atau dua orang atau lebih yang memegang
satu nada atau angklung sama dan pada saat bersamaan nada yang lain pun harus
dibunyikan, oleh karena setiap pemain harus bisa musyawarah satu sama lain
untuk membagi-bagi tugas ketika terjadi nada yang bentrok (dibunyikan
bersamaan).
5. Solidaritas,
maksudnya setiap pemain angklung harus mempunyai rasa kekeluargaan yang solid
dimana apabila satu orang tertinggal maka yang lain harus bisa membantu dan
saling memotivasi agar tercapai kekompakan dalam bermain musik.
6. Toleransi,
maksudnya orang-orang yang bermain angklung tidak dibedakan ras, suku, agama
maupun kebangsaannya karena dalam bermain angklung semua orang yang terlibat
didalamnya adalah keluarga.
7. Gotong
royong, dalam bermain angklung setiap orang harus bisa mencapai susatu
keharmonisan yang harus dicapai. Maka dari itu dibutuhkan kekompakan dan
kerjakeras bersama dalam memainkan angklung.
Setiap
orang yang bermain angklung secara tidak langsung akan mendapatkan pendidikan
moral yang sangat berguna bagi kehidupan bermasyarakat. Apabila kita lebih
memperdalam lagi filosofi angklung tentu kita akan menyadari bahwa tujuan Bapak
Daeng Soetigna mengenalkan angklung bukan hanya untuk mengembangkan budaya
Indonesia tetapi juga untuk mencipatakan suatu kehidupan yang harmonis seperti
apa yang dicita-citakan para pejuang pendahulu kita yang susah payah
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Dalam
prakteknya setiap pemain angklung harus bertanggung jawab untuk melaksanakan
tugasnya membunyikan angklung sesuai dengan ketukan dan harga nada yang
dikehendaki oleh seorang conductor. Rasa tanggung jawab seperti ini pun apabila
diterapkan didalam kehidupan sehari-hari tentu setiap orang tidak akan ada yang
merasa dirugikan satu sama lain karena semuanya mempunyai tanggung yang sama.
Apabila
dalam sauatu komposisi musik ada satu nada saja yang hilang maka keindahan dan
keharmonisan lagu tersebut akan hilang. Begitupun dengan kehidupan berbangsa
dan bernegara, apabila satu orang saja tidak dapat menjaga kerhamonisan
bermasyarakat maka persatuan dan kesatuan bangsa akan goyah.
Angklung
terdiri dari dua jenis nada, yaitu angklung melodi dan angklung pengiring,
keduanya sangat saling membutuhkan satu sama lain. Ini menandakan bahwa didalam
bermain angklung tidak ada satu nada pun yang istimewa karena tanpa angklung
pengiring keharmonisan suatu lagu tidak akan tercapai begitupun sebaliknya. Dalam
kehidupan sehari-haripun seharusnya tidak ada yang namanya keistimewaan karena
setiap orang itu sama saling membutuhkan satu sama lain. Oleh karena itu
lahirnya angklung ke dunia ini adalah untuk menyatukan manusia dan kita juga
dapat mengambil pelajaran bahwa perbedaan itu bukan untuk dipertandingkan,
melainkan untuk disandingkan.
Sumber : Buku-Buku Karya Bapak Obby A.R dan Pengajaran langsung dari Bapak Eddy Permadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar